Senin, 21 Mei 2018

Makalah Perkembangan Moral

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang masalah
Latar belakang kehidupan berkenaan dengan hakikat dan nasib manusia, manusia memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia. Lingkungan utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah dan hubungan-hubungan sosial sehingga tugas orang dewasa dalam membantu perkembangan moral adalah memberikan pengertian atas peraturan-peraturan yang ada pada anak, yang akan membantu anak untuk mengembangkan prinsip-prinsip moral dan mengembangkan pemahaman akan agama atau kepercayaan kepada anak.
Dari sudut pandang sosial, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, untuk mencapai komitmen yang ia pegang bersama orang lain, dari sudut pandang individu yang beragama, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Moralitas
            Istilah moral berasal dari bahasa latin “ mos “ (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Secara umum moralitas dapat diartikan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan mereka yang bersalah akan merasa malu ketika melanggar.
Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT mengilhamkan kedalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan jalan ketaqwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-Qur’an di nyatakan : “…dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Al-Syams :7-10)

B.   Prilaku-Prilaku Dasar Moral
Selain bimbingan di sekolah, bimbingan di rumah sangat penting, karena anak lebih menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga. Untuk itu keluarga di tuntut untuk dapat menerapkan pendidikan keimanan sebagai pegangan anak di masa depan. Pada umumnya orang tua mengharapkan anak-anaknya untuk dapat tumbuh menjadi seseorang yang memiliki moralitas yang kuat dalam berhubungan dengan orang lain.
     Menurut Sochib, ada delapan yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam membimbing anaknya.
1.     Perilaku yang dapat dicontoh
     Artinya, setiap perilaku tidak sekedar berupa ucapan, tetapi harus di dasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan di jadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anaknya.
2.    Kesadaran diri
Kesadaran diri harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun nonverbal tentang perilaku yang taat moral.

3.    Komunikasi
     Komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan yang berkenaan dengan nilai-nilai moral.
4.    Menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap nilai-nilai moral.
     Data diaktualisasikan dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik, hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya.
5.    Penataan lingkungan fisik.
     Penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai-nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya.
6.    Penataan lingkungan sosial
     Dapat menghadirkan situasi kebersamaan antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan sarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan makna antara orang tua dan anak-anak.
7.    Penataan lingkungan pendidikan
     Penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang menggelitik dan mendorong kejiwaannya untuk mempelajari nilai-nilai moral.
8.    Penataan suasana psikologis.
     Semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan di terjemahkan menjadi tatanan  sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga.
     Dari kedelapan pola pembinaan terhadap anak sangat diperlukan sebagai panduan dalam membuat perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri anak, dan dalam menjaga hubungan erat antar orang tua dengan anak. Anak dan remaja pada tahap awal perkembangan moral membuat keputusan atas perilakunya, terutama karena antisipasi, konsekuensi perilaku mereka. Ada beberapa perbedaan dalam tingkah laku moral, yaitu :
a.    Perkembangan Perilaku Prososial
     Islam juga memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong satu sama lainnya dalam kebajikan dan taqwa, yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah”Dan bertolong menolonglah kamu atas kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”.
     Dalam islam,  perilaku prososial dilakukan bukan untuk mendapatkan penghargaan manusia atau untuk memperoleh kenikmatan duniawi. Saling membagi, saling membantu dan bentuk perilaku prososial lain menjadi lebih umum pada usia prasekolah dan seterusnya, selain itu kemampuan penalaran moralprososial dan kemampuan memberikan reaksi empatik juga merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap alturuisme.
b.    Kontrol Perilaku Agresivitas
     Suatu perilaku merupakan agresivitas jika terdapat niat untuk menyakiti orang lain, misalnya tendangan keras yang melesat dan lain-lain. Islam menyuruh umatnya untuk berlaku lemah lembut dan tidak menyakiti orang lain, bahkan termasuk dalam kata-kata, seperti yang tercantum dalam ayat berikut ini :
“ Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima), Allah maha kaya lagi maha penyayang.”   (QS Al-Baqarah ;263)
     Orang yang mampu mengontrol diri tidak menyakiti orang lain,meskipun dalam keadaan marah merupakan orang yang perkasa dalam pandangan islam. Dengan demikian, islam melarang manusia untuk melakukan tindakan agresivitas yang tidak memiliki alasan yang dapat dibenarkan. Umat islam diwajibkan untuk membela kebenaran dan mencegah kemungkaran.
c.    Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial
     Anak dapat mempelajari banyak hal mengenai moralitas dalam interaksinya dengan sebayanya. Konflik antar saudara dan teman bermain sering kali timbul sebagai hasil dari ancaman fisik, ketidak pedulian dengan perasaan orang lain, untuk menyelesaikan konflik-konfliknya secara baik, mempertimbangkan perasaan dan kepemilikan anak lain dan berusaha untuk memuaskan kebutuhan anak lain selain kebutuhannya sendiri adalah merupakan cara yang tepat, sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an yang artinya :
“ wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu kengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS An-Nisa ; 135)
C.   Perkembangan Penalaran Moral
     Proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama hidupnya.
     Kohlberg merumuskan tiga tingkatan perkembangan moral, yaitu :
1.    Penalaran Prakonvensional
     Penalaran prakonvenional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Tingkatan ini umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukan penalaran dalam tahap ini.
2.    Penalaran Konvensional
     Penalaran konvenional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Seseorang mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orang tua adan masyarakat. Tingkatan ini umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang ditahap ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.
3.    Penalaran Pascakonvensional
     Penalaran ini merupakan tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg, pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Perspektif seseorang harus di lihat sebelum perspektif masyarakat.
D.  Tindakan Moral Menahan Godaan
     Tindakan moral menahan godaan semakin hari kian menjadi gejala umum yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun juga sudah merambah ke kota-kota kecil bahkan ke pedesaan. Ini terjadi karena banyak sebab, namun media dipercaya memiliki peran penting, disamping minimnya peran keluarga, sekolah dan lingkungan dalam memberikan pengetahuan yang baik kepada para pelaku. Sekolah diharapkan mengambil peran untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut, atau paling tidak meminimalisasi dampak buruk yang bisa ditimbulkan.
     Perilaku antisosial bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa ada batasan usia, namun karena penyimpangan ini dikatagorikan sebagai penyimpangan ringan dari tatanan sosial yang umum diterima bersama, secara umum perilaku antisosial identik dengan anak-anak muda usia sekolah. Sekolah di harapkan menjadi tempat pembelajaran, menjiwai, dan mempraktekkan segala hal baik yang menguntungkan dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat.
     Menurut kohlberg tindakan moral menahan godaan hanya menyusun pemikiran moral, bukan tindakan moral. Padahal dari sudut kemasyarakatan salah satu ukuran moralitas adalah sejauh mana individu mampu untuk menahan godaan untuk melanggar norma moral, walaupun tidak ada kemungkinan untuk diketahui atau dihukum.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
     Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang diterapkan anggota keluarga. Lingkungan yang utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah dan hubungan-hubungan sosial, sehingga peran orang dewasa adalah membantu atas peraturan yang ada pada kebudayaan anak. Ketika pendidikan membatu anak untuk mengembangkan prinsip-prinsip moral, penting juga untuk memberikan pemahaman akan agama atau kepercayaan terhadap anak.




Makalah Kurikulum DTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Diniyah Takmiliyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahnya.
Keberadaan lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan sebuah kebutuhan pendidikan anak-anak pra dewasa. Apalagi sudah memiliku legalitas dari pemerintah melalui perundang-undangannya. Kelegalitasan ini menuntut Diniyah takmiliyah untuk memiliki kurikulum yang mendukung.
Dalam makalah ini penulis akan mengupas sedikit tentang kurikulum Diniyah Takmiliyah yang insya Allah akan membentuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini.
1.2 Batasan Masalah
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan muncul adalah.
Bagaimanakah kurikulum yang digunakan di Diniyah Takmiliyah?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
Mempelajari kurikulum Diniyah Takmiliyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Diniyah Takmiliyah
Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: suraudayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Sekarang Diniyah Takmiliyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Kementerian Agama mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi madrasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Kementerian Agama.
Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.(sekarang berubah menjadi Diniyah Takmiliyah Awwaliyah, Wustha dan ‘Ulya)  Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.
2.2.Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:
  1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
  2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan  tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
  3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
  5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
  6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.
2.3.Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana, tujuan, isi dan bahan pembelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2.4.Kurikulum yang digunakan Diniyah Takmiliyah
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Diniyah Takmiliyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Diniyah Takmiliyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama  d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Diniyah Takmiliyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan untuk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan lingkungan madrasah.
Diniyah Takmiliyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Takmiliyah Awaliyah, Diniyah Takmiliyah Wustha dan Diniyah Takmiliyah Ulya. Diniyah Takmiliyah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Diniyah Takmiliyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang berakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.
Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Diniyah Takmiliyah bertujuan :
  1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
  2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri Diniyah takmiliyah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, maka tujuan Diniyah Takmiliyah dilengkapi dengan “memberikan bekal kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”.
Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.
Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia dan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.
Kurikulum Diniyah Takmiliyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Kementeriam Agama Pusat Kantor Wilayat/ Kementerian Propinsi dan Kantor kementerian Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan Diniyah Takmiliyah.



BAB III
KESIMPULAN
Diniyah Takmiliyah adalah salah satu lembaga pendidikan non formal yang memiliki peranan penting dalam pengembangan pembelajaran agama Islam. Dalam Diniyah Takmiliyah yang merupakan lembaga yang memiliki payung hukum yang legal tentunya kurikulum sudah diset oleh pemerintah yang tentu tidak secara baku. Dalam artian pelaksana pendidikan bisa mengekplorasi pembelajaran yang bersipat penyesuaian dengan lingkungannya. Penyesuaian kurikulum itu akan dilakukan pada Diniyah Takmiliyah di semua tingkatan: ula (awal), wusto (menangah), hingga ala (atas).

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997.


Departemen Agama, Sejarah Perkembangan Madarasah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998.

Makalah Perkembangan Moral

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah Latar belakang kehidupan berkenaan dengan hakikat dan nasib manusia, manusia memai...